Pegawai yang Amanah
sumber : Rumaysho.com
Menjadi pegawai yang amanat dan
ikhlas dalam bekerja sungguh sangat sulit ditemukan saat ini. Betapa sering
kita lihat pegawai tidak ontime dalam jam masuk kerja, ketika jam
kerja malah terlihat beberapa yang berada di pusat perbelanjaan. Korupsi pun
sering terjadi, baik dalam hal korupsi waktu, korupsi aset, dan korupsi uang
jalan.
Gratifikasi dan suap menyuap pun menjadi hal yang biasa di tengah-tengah
mereka. Padahal setiap kita akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang kita
perbuat, baik kita sebagai atasan atau pun bawahan.
Perintah untuk
Menunaikan Amanat
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ
تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada
kalian untuk menunaikan amanat kepada yang berhak” (QS. An Nisaa’: 58).
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ
ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
“Tunaikanlah amanat pada orang yang
memberikan amanat padamu dan janganlah mengkhianati orang yang mengkhianatimu”
(HR. Abu Daud no. 3535, Tirmidzi no. 1264 dann Ahmad 3: 414, shahih).
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
لَتُؤَدُّنَّ الْحُقُوقَ إِلَى
أَهْلِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُقَادَ لِلشَّاةِ الْجَلْحَاءِ مِنَ
الشَّاةِ الْقَرْنَاءِ
“Hendaklah kalian menunaikan hak pada yang
berhak menerimanya, karena nanti akan dituntut qishash untuk kambing yang tidak
bertanduk dari kambing yang bertanduk” (HR. Muslim no. 2582).
Orang yang berkhianat terhadapa amanat pun
menyandang salah satu sifat munafik. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ
كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tiga tanda munafik adalah jika berkata, ia
dusta; jika berjanji, ia mengingkari; dan ketika diberi amanat, maka ia ingkar”
(HR. Bukhari no. 33 dan Muslim no. 59). Imam Nawawi rahimahullah
berkata, “Hadits ini menerangkan tanda munafik, yang memiliki sifat tersebut
berarti serupa dengan munafik atau berperangai seperti kelakuan munafik. Karena
yang dimaksud munafik adalah yang ia tampakkan berbeda dengan yang
disembunyikan. Pengertian munafik ini terdapat pada orang yang memiliki
tanda-tanda tersebut” (Syarh Muslim, 2: 47).
Seseorang yang
Dikatakan Amanat
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
“Menunaikan amanat yang dimaksudkan adalah umum mencakup segala yang diwajibkan
pada seorang hamba, baik hak Allah atau hak sesama manusia” (Tafsir Al Qur’an
Al ‘Azhim, 4: 124).
Syaikh As Sa’di rahimahullah berkata,
“Amanat adalah segala sesuatu yang diemban oleh seseorang yang diperintahkan
untuk ditunaikan. Perintah Allah untuk menunaikan amanat sudah amat sempurna,
perintah tersebut tidak kurang dan tidak bertele-tele. Termasuk dalam memegang
amanat adalah dalam hal kekuasaan dan harta, juga menjaga rahasia.
Begitu pula
termasuk amanat adalah menjalankan perintah Allah yang di mana Allah yang
langsung mengawasi hal ini. Para fuqoha
menyebutkan bahwa orang yang dibebankan amanat, hendaklah ia benar-benar
menjaganya. Mereka berkata bahwa seseorang tidak disebut menunaikan amanat
melainkan dengan menjaganya, dan hukumnya adalah wajib. Dan amanat di sini
mesti ditunaikan pada ahlinya. Ini menunjukkan bahwa amanat tersebut jangan
ditunaikan pada orang lain. Orang yang menjadi wakil sama halnya dengan orang
yang memberikan amanat. Jika amanat ini diserahkan pada orang lain, maka itu
berarti seseorang tidak menunaikan amanat dengan benar” (Taisir Al Karimir
Rahman, 183).
Penjelasan dua ulama di atas menunjukkan bahwa
penunaian amanat ini adalah umum. Ada
amanat yang berkaitan dengan hak Allah
yaitu menjalankan setiap yang Allah perintahkan dan menjauhi segala yang Allah
larang. Jika seseorang berbuat syirik, melakukan tumbal, meminta syafa’at
kepada selain Allah, maka orang seperti ini tidaklah amanat karena kita
diperintahkan untuk mentauhidkan Allah dan menjauhi segala macam bentuk
kesyirikan. Jika seseorang melakukan suatu amalan yang tidak pernah dicontohkan
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti melakukan dzikir
jama’ah dengan dikomandoi, melaksanakan puasa khusus pada hari ulang tahunnya,
atau memeriahkan perayaan non muslim, ini adalah bentuk tidak amanat.
Berkaitan
dengan hak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, setiap muslim
diperintahkan untuk mengikuti tuntunannya dan tidak membuat ajaran baru yang
tidak pernah beliau contohkan. Begitu pula orang yang bermaksiat kepada Allah,
berlaku tidak jujur, tidak amanat, berzina, dan menginjak kehormatan
saudaranya, ini tidak disebut amanat.
Mengemban amanat juga berkaitan dengan hak sesama. Seorang istri punya kewajiban
untuk taat pada suami, menjaga dirinya dari zina, dan tidak mengizinkan orang
lain masuk rumah kecuali dengan izin atau ridho suami. Jika ia tidak memenuhi
kewajibannya sebagai istri, maka ia berarti tidak amanat. Begitu pula suami
yang tidak mempedulikan nafkah keluarga, berlaku kasar pada istri serta tidak
mempedulikan keadaan agama istri dan anak-anaknya adalah suami yang tidak
amanat.
Pegawai yang
Amanat
Pegawai yang disebut amanat berarti yang memenuhi
kewajiban-kewajibannya sebagai pegawai. Di antara tanda pegawai yang amanat
terhadap kewajibannya:
- Jika telah
ada ketetapan waktu awal dan akhir kerja, maka ia harus memenuhi aturan
tersebut. Tidak boleh seorang pegawai telat datang kerja dan lebih awal
pulang atau ketika jam kerja malah berada di pusat perbelanjaan.
- Tidak
menggunakan fasilitas kantor seperti mobil atau kendaraan dinas untuk
kepentingan pribadi.
- Tidak
memanipulasi sisa uang perjalanan dinas. Beberapa pegawai ada yang sengaja
memanipulasi laporang keuangan perjalanan dinas dan mengambilnya untuk
masuk ke kantongnya sendiri.
- Tidak
menerima suap dan segala bentuk gratifikasi. Seorang sipir penjara, tidak
boleh menerima uang dari pengunjung yang ingin menjenguk saudaranya karena
hal ini termasuk ghulul atau hadiah khianat. Begitu pula seorang pejabat
tidak boleh menerima parcel karena hadiah semacam ini lebih menjurus pada
sogok. Seandainya ia bukan penjaga sipir atau bukan sebagai pejabat eselon
tinggi, tentu ia tidak akan mendapatkan hadiah atau parcel tersebut. Dalam
hadits disebutkan, “Hadiah bagi pejabat (pekerja) adalah ghulul
(khianat)” (HR. Ahmad 5: 424, shahih). Ibnu Habib menjelaskan, “Para ulama tidaklah berselisih pendapat tentang
terlarangnya hadiah yang diberikan kepada penguasa, hakim, pekerja
(bawahan) dan penarik pajak.”
Cobalah kita lihat bagaimana akibat yang menimpa
pegawai atau pekerja yang tidak amanat.
Pernah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
mempekerjakan seseorang dari bani Asad yang namanya Ibnul Lutbiyyah untuk
mengurus zakat. Orang itu datang sambil mengatakan, "Ini bagimu, dan
ini hadiah bagiku." Secara spontan Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam berdiri di atas mimbar -sedang Sufyan mengatakan dengan redaksi
'naik minbar’-, beliau memuja dan memuji Allah kemudian bersabda,
مَا بَالُ الْعَامِلِ نَبْعَثُهُ ، فَيَأْتِى
يَقُولُ هَذَا لَكَ وَهَذَا لِى . فَهَلاَّ جَلَسَ فِى بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ
فَيَنْظُرُ أَيُهْدَى لَهُ أَمْ لاَ ، وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لاَ يَأْتِى
بِشَىْءٍ إِلاَّ جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ ،
إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ ، أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ ، أَوْ شَاةً
تَيْعَرُ
"Ada
apa dengan seorang pengurus zakat yang kami utus, lalu ia datang dengan
mengatakan, “Ini untukmu dan ini hadiah untukku!” Cobalah ia duduk saja di
rumah ayahnya atau rumah ibunya, dan cermatilah, apakah ia menerima hadiah
ataukah tidak? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang
datang dengan mengambil hadiah seperti pekerja tadi melainkan ia akan datang
dengannya pada hari kiamat, lalu dia akan memikul hadiah tadi di lehernya. Jika
hadiah yang ia ambil adalah unta, maka akan keluar suara unta. Jika hadiah yang
ia ambil adalah sapi betina, maka akan keluar suara sapi. Jika yang dipikulnya
adalah kambing, maka akan keluar suara kambing.“
ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْنَا
عُفْرَتَىْ إِبْطَيْهِ « أَلاَ هَلْ بَلَّغْتُ » ثَلاَثًا
Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga
kami melihat putih kedua ketiaknya seraya mengatakan, " Ketahuilah,
bukankah telah kusampaikan?" (beliau mengulang-ulanginya tiga kali) (HR.
Bukhari no. 7174 dan Muslim no. 1832).
Semoga Allah memberi taufik kepada kita dalam
mengemban setiap amanat dan moga kita terhindar dari sifat khianat.
Wallahu waliyyut taufiq.