Kelinci dan Kandangnya
Oleh : Zilzaal
Seekor kelinci muda menampakkan wajah
gelisah ketika berada di sebuah kandang. Walau daun-daun segar selalu
tersedia setiapkali ia ingin makan, kandang baginya sebuah penjara
yang menghalanginya menikmati kebebasan di luar sana.
“Kamu ingin
bebas dari kandang ini, anakku?” ucap seekor kelinci tua tiba-tiba.
Warna bulunya yang tidak lagi cerah, menunjukkan kalau si pemilik
suara itu sudah begitu lama mengenyam kehidupan.
“Tentu
saja! Aku ingin bebas di luar sana!” jawab si kelinci muda setelah
menoleh ke arah kelinci tua.
Persahabatan dua kelinci itu
memang tergolong baru. Ketika kelinci muda dimasukkan ke kandang oleh
sang pemilik, kelinci tua sudah ada di situ. Ia tidak tahu persis,
sudah berapa lama kelinci tua itu menetap di kandang yang tak lebih
baginya sebagai sebuah penjara.
Belum lagi dua kelinci itu
melanjutkan percakapannya, tangan sang pemilik tiba-tiba menjulur ke
kandang. Sepertinya, tangan itu hendak meraih kelinci tua. Dan benar
saja, sang kelinci tua berhasil terpegang setelah sebelumnya
menunjukkan penghindaran.
Tangan sang pemilik pun mengeluarkan sang kelinci tua di sebuah rerumputan tak jauh dari kandang. Tapi, kelinci tua itu tidak mau bergerak. Ia tetap diam. Sepertinya, sang kelinci tua ingin kembali dimasukkan kedalam kandang.
Seperti memahami bahasa tubuh kelinci, sang pemilik pun kembali memasukkan kelinci tua kedalam kandang.
Tangan sang pemilik pun mengeluarkan sang kelinci tua di sebuah rerumputan tak jauh dari kandang. Tapi, kelinci tua itu tidak mau bergerak. Ia tetap diam. Sepertinya, sang kelinci tua ingin kembali dimasukkan kedalam kandang.
Seperti memahami bahasa tubuh kelinci, sang pemilik pun kembali memasukkan kelinci tua kedalam kandang.
“Aneh, kenapa bapak tidak
memanfaatkan kesempatan untuk bebas? Apa bapak lebih senang berada di
sini daripada di luar sana?” sergah sang kelinci muda sesaat
setelah kelinci tua kembali berada dalam kandang.
”Anakku,” ucap sang kelinci tua. ”Tidak selamanya kebebasan itu baik. Justru, aku lebih aman berada dalam kandang ini daripada di luar sana!” lanjut sang kelinci tua.
”Bapak takut berada di luar sana? Bukankah kita bisa berlari cepat jika ada yang membahayakan kita?” tanya kelinci muda lagi.
”Sebenarnya,” jawab kelinci tua. ”Aku lebih takut pada kebebasan diriku sendiri daripada mangsa di luar sana. Karena bagiku, kebebasanlah yang membuatku lengah dari berbagai bahaya. Dan kebebasan pula yang membuatku menjadi bodoh untuk membedakan mana yang aman dan mana yang membahayakan.”
Sang Pemilik kehidupan memberikan kebebasan bagi kita untuk memilih: mau bebas atau ’terpenjara’ dalam aturannya. Sayangnya, tidak sedikit dari kita yang mampu melihat bahwa ’penjara’ itu jauh lebih baik dari kebebasan.
Padahal, seperti yang diucapkan sang kelinci tua, Kebebasanlah yang menjadikan diri bodoh untuk membedakan mana yang aman, dan mana yang bahaya!
”Anakku,” ucap sang kelinci tua. ”Tidak selamanya kebebasan itu baik. Justru, aku lebih aman berada dalam kandang ini daripada di luar sana!” lanjut sang kelinci tua.
”Bapak takut berada di luar sana? Bukankah kita bisa berlari cepat jika ada yang membahayakan kita?” tanya kelinci muda lagi.
”Sebenarnya,” jawab kelinci tua. ”Aku lebih takut pada kebebasan diriku sendiri daripada mangsa di luar sana. Karena bagiku, kebebasanlah yang membuatku lengah dari berbagai bahaya. Dan kebebasan pula yang membuatku menjadi bodoh untuk membedakan mana yang aman dan mana yang membahayakan.”
Sang Pemilik kehidupan memberikan kebebasan bagi kita untuk memilih: mau bebas atau ’terpenjara’ dalam aturannya. Sayangnya, tidak sedikit dari kita yang mampu melihat bahwa ’penjara’ itu jauh lebih baik dari kebebasan.
Padahal, seperti yang diucapkan sang kelinci tua, Kebebasanlah yang menjadikan diri bodoh untuk membedakan mana yang aman, dan mana yang bahaya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar