Benar-benar Mogok
Tiga bulan lebih lamanya hujan sudah tidak turun. Dibanding tahun 2011 kemarin yang hari-hari selalu diwarnai dengan hujan. Aku teringat betapa rekoso-nya medan yang aku lewati tiga hari sekali itu. Dan persis sejak peristiwa itu sampai sekarang hujan belum sekalipun turun.
Rabu sore itu jam setengah empat seperti biasa sehabis kerja aku pulang.
Setelah sholat Ashar dan berkemas aku langsung berangkat, ya kira-kira
jam empat kurang sedikit.
Sebelumnya sempat ragu juga mengingat pas jam tiga tadi sedikit hujan
gerimis, kemlambi, uyoh wewe ataupun apalah istilahnya untuk hujan yang
hanya sebentar itu. Dengan tekad yang bulat akhirnya aku putuskan untuk
tetap berangkat juga dengan motor favoritku. Ya, aku tak tega sama si
kecilku yang berdua sama kakaknya, sementara istri dan mertua pergi ke
Jogja menengok besan yang sakit sehabis operasi empedu.
Aku sempat di sms sama istri kalau ternyata sakit besan tersebut salah satu diantaranya sering minum jamu TL (inisial saja, takut di Prita Mulyasari-kan), repotnya aku sendiri juga sering mengkonsumsi jamu tersebut. Memang sih, khasiatnya terasa banget. Oleh sebab itu saking cepat terasa khasiatnya tersebut aku sempat curiga sama jamu itu, minum jarang dan kalau pas capek banget itulah solusi yang aku ambil.
Jalan menyusuri hutan yang sepi itupun aku lalui, sekali-sekali
berpapasan dengan orang yang baru pulang mencari nafkah di hutan. Kadang
bertemu pencari kayu bakar, pencari bonggol jati, penggembala sapi,
kadang juga bertemu pencari kayu untuk material jamu. Itupun tak sering,
dan jarak antara satu orang dengan orang lainnya cukup jauh juga.
Aspal jalanan yang
terkelupas sana-sini ditambah batu-batu kecil berserakan membuat
kehati-hatianku semakin bertambah. Rupanya hujan gerimis tadi telah
membuat jalanan menjadi licin. Lubang jalanan yang ditambal ala kadarnya
menggunakan tanah liat itu semakin membuat jalanan bertambah licin dan
licin. Berkali-kali sepatu bututku harus menggaruk jalanan untuk
mengimbangi laju motor yang hilang kendali.
Jalanan terasa sepi sekali. Disaat gerimis seperti ini dengan kondisi
jalanan yang rusak hanya orang yang benar-benar punya kepentinganlah
yang berada di jalanan.
Setengah jam sudah aku lalui. Dengan jaket kumal karena tersiram air
hujan kecil-kecil itu membuat badan terasa dingin. Sengaja aku tidak
memakai mantel yang sudah aku bawa, toh gerimisnya cuma kecil, pikirku.
Jalanan depan warung pertigaan Jliru itu sangat rusak. Yah,
satu-satunya warung sekaligus desa yang tidak bertetangga. Lubang jalan
yang menganga lebar itu oleh penduduk setempat diurug dengan batu-batu
cadas, setelah itu atasnya diisi dengan tanah liat. Mungkin maksudnya
biar tidak nggronjal-nggronjal kalau dilewati. Tapi disinilah awal masalah itu muncul.
Air hujan yang hanya membasahi permukaan tanah liat itu membuat roda
motorku tidak mau bergerak. Alhasil setiap lima puluh meteran aku harus nyoleti tanah liat yang menyumbat roda, padahal jarak yang harus aku tempuh masih 20 km-an lagi.
Sroogg ... roda motorku benar-benar nggak mau berputar lagi. Aku coba
menggeber gas tidak juga mau jalan, padahal rpm sudah diatas tiga
ribuan.
Aku panik juga karena posisi motorku pas ditengah jalan yang
memang sempit itu sementara dikejauhan tampak truk tua yang mau lewat
juga.
"Ayo Mas, aku bantu bersihkan rodanya, nanti kalau tanah liatnya sudah
berkurang kan bisa didorong," kata Bapak yang membantu saya. Sementara
ia sendiri meninggalkan anak dan istrinya beserta seonggok rumput
dimotornya.
Benar juga, roda mau berputar sedikit.
"Matur nuwun Pak," kataku. Aku benar-benar berterima kasih. Ditengah
jalan hutan yang sepi ini masih ada orang yang dengan tulis peduli.
Rupanya Bapak tadi adalah penduduk desa Getas, desa kedua setelah Jliru
tadi. Ya, hanya ada dua desa. Desa terujung timur dari Propinsi Jawa
Tengah.
Aku sangat senang ketika dilubang jalan depan itu ada sedikit air hujan.
Walaupun sangat keruh, air itu aku pakai juga untuk mencuci roda yang
sudah sulit untuk berputar itu.
Jam ditanganku sudah menunjukkan pukul lima sore. Walaupun seharusnya
belum gelap , tetapi karena cuaca mendung ditambah dengan lebatnya daun
hutan jati membuat cahaya sore itu sudah remang-remang.
Srooggghhh
... entah untuk yang keberapa kalinya roda motorku tidak mau berputar.
Aku mencari ranting kecil untuk membuang tanah liat yang menyumpal. Kali
ini benar-benar sulit. Mungkin kultur jenis tanahnya berbeda. Benar
juga, diantara tanah liat itu tercampur batu-batu kecil, sehingga sulit
untuk dikeluarkan. Berkali-kali rantingku patah. Aku sudah tidak
memperdulikan lagi celana dan jaketku yang lusuh terkena tanah. Aku
coba membuka slebor roda depan, barangkali dengan tanpa slebor tanah
yang menyumpal itu bisa lepas.
Dengan kunci dua belas yang ada di jok ,
aku mencoba membukanya. Ternyata sulit juga. Mata skrup itu sudah
tertutup tanah liat yang benar-benar liat.
Sayup-sayup diujung jalan hutan itu terdengar suara truk lewat, benar
juga. Aku sempat bingung juga sebab posisi motorku melintang di tengah
jalan. Aku geser-geser sedikit berbagi jalan dengan truk pengangkut tebu
itu.
Berangsur-angsur sore itu menjadi petang. Seperti berangsur-angsurnya
pula sedikit demi sedikit tanah yang menyumbat rodaku mulai berkurang.
Setelah kurasa roda sedikit bisa berputar kucoba memacu motorku sedikit
lebih kencang, dengan harapan tanah yang menempel akan lepas. Benar
juga, hampir dua ratusan meter rodaku masih berputar tanpa harus turun
lagi.
Sroooogggghhhh... roda motorku benar-benar tidak mau berputar. Aku sudah
putus asa. Walaupun sayup-sayup adzan maghrib baru terdengar tapi
suasana di jalan hutan itu benar-benar gelap, dingin, karena air-air
kecil yang turun belum berhenti juga.
Sesekali angin malam yang kencang
itu berhembus, menggoyang-goyangkan pohon jati sehingga menambah suasana
mencekam.
Allahuma tawakaltu alallah, pasrah, sambil berdoa semoga hujan yang gerimis itu menjadi deras, hanya itu yang bisa aku lakukan.
Bagaimana tidak, masih 8 km-an lagi kondisi jalan yang sama harus aku
tempuh. Tak ada orang maupun perkampungan. Kampung terdekat dan
satu-satunya masih dua kilo meteran lagi. Roda motorku benar-benar
macet, cet, cet. Mogok, inilah mogok yang sebenar-benarnya, tidak bisa
maju tidak bisa mundur.
Dikeremangan kegelapan itu tanganku menggaruk-garuk tanah liat,
barangkali tanah yang sedikit terurai bisa membuat rodanya berputar.
Mesin aku nyalakan, belum bisa juga. Kucoba lagi menggaruk-garuk tanah
dan batu-batu kecil yang menempel di sela-sela roda itu. Lemas banget,
aku baru ingat kalau seharian tadi baru sekali saja makan. Ya Allah,
hari yang sangat melelahkan.
Kucoba lagi, kali ini berhasil. Sedikit demi sedikit roda mau berputar,
lega rasanya apalagi hujan yang turun semakin lama semakin deras.
Ditengah kegelapan hutan dan siraman air hujan yang deras itu semangatku
tumbuh, semakin deras semakin lancar roda motorku berputar. Rasa
lapar dan dingin itu hilang di kedinginan malam.
Alhamdulillah ya Allah, Engkau mengabulkan do'aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar